Minggu, 25 Desember 2011

ASKEP CUSING SYNDROME

ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN CUSHING SYNDROME




OLEH
Abror Shodiq

Penegrtian
Cushing’s Syndrome
Hypercortisolism of any cause

Cushing’s Disease
Corticotropin (ACTH) secreting pituitary adenoma
Cushing syndrome
Penyakit hiperkortisolisme
Hipersekresi dari glukokortikoid / kortisol dari kortek adrenal
Mengganggu pengaturan fungsi tubuh
Menimbulkan masalah medis dan keperawatan
Kejadian sering pada wanita, rasio 5:1
Usia awitan 20-40 tahun
Anatomi & fisiologi kel.adrenal
Disebut juga kel. Suprarenalis
Letak di atas kutub sebelah atas setiap ginjal
Terdiri dari korteks (luar) dan medula (dalam)
Bag.korteks menghasilkan kortisol / hidrokortison
Bag. Medula menghasilkan adrenalin (epineprin & norepineprin)




Kelenjar Adrenal
Struktur Adrenal
Anatomi dan Histologi

Adrenal gland
Adrenal gland


Adrenal physiology
Cortex
Cortisol
Aldosterone
DHEA, DHEAS, androstenedione
Medulla
Epinephrine
Norepinephrine
Dopamine
Definisi
Suatu kelainan yang disebabkan oleh kelebihan produksi glukokortikoid dari kelenjar adrenal
Harvey Cushing (1932) menganggap kausa primer dari syndrome ini terletak di hipofisis atau hiperplasi dari korteks adrenal
Efek kortisol terhadap aktifitas metabolisme :
Memacu glikogenolisis, glukoneogenesis dan katabolisme protein.
Meningkatkan kontraksi jantung
Menghambat aktifitas osteoblast
Menghambat absorbsi kalsium di usus
Anti inflamasi
Imunosupresif
Etiologi Cushing Syndrome
Produksi yang berlebih dari cortikoid
Kelainan supraren berupa hiperplasi bilateral, adenoma, karsinoma
Atropi kelenjar suprarenalis
Cushing Syndrome yang congenetal selalu disebabkan oleh hiperplasi supraren yg bilateral.
Insidensi
Bila gejala mulai pre pubertas sering karena tumor maligna dari supraren
Pada dewasa causanya :
60 % hiperplasi bilateral supraren
30 % tumor supraren
10 % jar.supraren normal (dianggap causa primer di hipofisis)
Klasifikasi CS
Primary Cushing Syndrome
sekresi kortisol berlebih o/k carsinoma adrenal
Secondary Cushing Syndrome
disebabkan o/k hipotalamus atau pituitary
Latrogenicalty – Induced Cushing Syndrome
peningkatan sekresi kortisol o/k pemberian glukokortikoid eksogen yang lama.

Tanda dan Gejala
Kelemahan otot
Striae ungu di abdomen
Osteoporosis, sakit punggung, fraktur kompresi
Distribusi lemak sentripetal
Buffalo hump
Obesitas di muka ( moon face)
Hipertensi , udema perifer
Terdapat psikosa

Symptoms of Excess Cortisol
Truncal obesity
Moon face
Fat deposits supraclavicular fossa and posterior neck- buffalo hump
HTN
Hirsutism
Amenorrhea or impotence
Depression
Thin skin
Easy bruising
Purplish abdominal striae
Proximal muscle weakness
Osteoporosis
Diabetes Mellitus
Avascular necrosis
Wound healing impaired
Pysch symptoms
Hyperpigmentation
Hypokalemic alkalosis


Skin
Thin Skin
Hirsutism
Acne
Striae
Bruising
Cardio-vascular
Hypertension
Psychiatric
Depression
Musculoskeletal
Moon face
Buffalo hump
Truncal obesity
Thin Limbs
Proximal weakness
Metabolic
Hyperglycemia
Osteoporosis
Hypokalemia


증 례
증 례
증 례



Gejala lanjutan….
Fraktur multiple
Infeksi
Kerusakan vaskuler
Muka banyak rambut
Gangguan faal kelamin
Polidipsi dan poliuri
Maskulinisasi wanita, gangg. Menstruasi, feminisasi pria,impotensi, penurunan libido
Kadang timbul DM
Diagnosa banding / DD
Obesitas
Hipertensi
DM

Pemeriksaan diagnostik
Laboratorium
Hiperglikemia
Alkalosis metabolik
Hipokalemia
Peningkatan ACTH
Peningkatan natrium
Peningkatan leukosit
Peningkatan kortisol urin


Diagnostik …….
Hasil rontgen
Sella tursika normal
Osteoporosis pada tengkorak & colum vertebrata
IVP : Pembesaran kel.supraren



Penatalaksanaan Medis
Bila causa tumor dapat dilakukan operasi
Pemberian substitusi kortikoid setelah operasi,o/k sisa kel.yg diambil akan mengalami atropi
Bila kausa hiperplasi bilateral adrenal maka terapi ditujukan baik pada adrenal maupun hipofisis, setelah adrenektomi total perlu diberikan kortikosteroid seumur hidup
Koreksi ketidakseimbangan elektrolit

Diagnosa keperawatan
Kelebihan volume cairan
Defisit perawatan diri
Perubahan proses pikir
Risiko infeksi
Risiko cidera
Penatalaksanaan Keperawatan
Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
Diit tepat, mengurangi kalori dan karbohidrat, rendah natrium dan tinggi kalium
Mencegah injuri dan infeksi
Mencegah komplikasi skunder
Suport emosional
Tatalaksana keperawatan ….
Mempertahankan personalhigiene
Mempertahankan integritas kulit
Mempertahankan pola aktifitas & istirahat
Mempertahankan pola eliminasi
Mempertahankan kemandirian pasien

Komplikasi
Fraktur patologis
Gagal jantung kongestif
Ulkus peptikum
Stroke
DM
Hipertensi
Infeksi
Penurunan emosional



Pathology
Hypercortisolism (Cushing’s syndrome)
Endogenous causes: contd …
3. Ectopic ACTH secreting conditions = Small cell Carcinoma of Lung (MC)
Age/ sex = Male, 5oyrs.
Adrenal = bilateral hyperplasia
Lab= ↑ ACTH, ↑ cortisol ( same as Cushing's disease)
Morphology = pituitary & adrenal changes
Pituitary (same in all types)= Crooke hyaline change (↑intermediate keratin)
Adrenal cortex = depends on the specific type

Askep Hirschsprung

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pada tahun 1886 Hirschsprung melaporkan dua kasus bayi meninggal dengan perut yang kembung oleh kolon yang sangat melebar dan penuh masa feses. Penyakit ini disebut megakolon kongenital dan merupakan kelainan yang tersering dijumpai sebagai penyebab obstruksi usus pada neonatus. Laporan tersebut disertai keterangan mengenai penampilan makroskopik kolon yang terdilatasi dan hipertrofi, yang oleh Hirschprung dinilai sebagai penyebab gangguan fungsi usus ( Swenson, 1990). Sampai tahun 1930 etiologi penyakit Hirschprung belum jelas diketahui.
Hirschsprung atau Mega Colon adalah penyakit yang tidak adanya sel – sel ganglion dalam rectum atau bagian rektosigmoid Colon. Dan ketidak adaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya peristaltik serta tidak adanya evakuasi usus spontan ( Betz, Cecily & Sowden : 2000 ). Penyakit Hirschsprung atau Mega Kolon adalah kelainan bawaan penyebab gangguan pasase usus tersering pada neonatus, dan kebanyakan terjadi pada bayi aterm dengan berat lahir 3 Kg, lebih banyak laki – laki dari pada perempuan. ( Arief Mansjoeer, 2000 ).
Penyebab sindrom tersebut baru diketahui setelah Robertson dan Kernohan pada tahun 1940 mengemukakan bahwa penyakit Hirschprung disebabkan gangguan peristaltik di bagian usus distal dengan defisiensi ganglion. Pada tahun 1948 Swenson menerangkan tentang penyempitan kolon distal yang terlihat dalam barium enema dan tidak terdapatnya peristaltik pada kolon distal. Pengangkatan segmen ini dengan disertai preservasi sfingter ani interna akan menyembuhkan penyakit Hirschprung (Robertson, et al, 1988). Pada tahun 1967, Okamoto dan Ueda menyimpulkan bahwa penyebab penyakit hirschsprung adalah aganlionosis pada bagian akhir usus. Aganglionosis tersebut disebabkan oleh karena gagalnya migrasi ke caudal sel-sel neuroblast pada masa awal kehidupan embrio (Kartono,1993
Megacolon terjadi karena adanya permasalahan pada persarafan usus besar paling bawah, mulai anus hingga usus di atasnya. Syaraf yang berguna untuk membuat usus bergerak melebar menyempit biasanya tidak ada sama sekali atau kalopun ada sedikit sekali. Namun yang jelas kelainan ini akan membuat BAB bayi tidak normal, bahkan cenderung sembelit terus menerus. Hal ini dikarenakan tidak adanya syaraf yang dapat mendorong kotoran keluar dari anus dalam keadaan normal, bahan makanan yang dicerna bisa berjalan di sepanjang usus karena adanya kontraksi ritmis dari otot-otot yang melapisi usus (kontraksi ritmis ini disebut gerakan peristaltik). Kontraksi otot-otot tersebut dirangsang oleh sekumpulan saraf yang disebut ganglion, yang terletak dibawah lapisan otot. Pada penyakit Hirschsprung, ganglion ini tidak ada, biasanya hanya sepanjang beberapa sentimeter. Segmen usus yang tidak memiliki gerakan peristaltik tidak dapat mendorong bahan-bahan yang dicerna dan terjadi penyumbatan. Penyakit Hirschsprung 5 kali lebih sering ditemukan pada bayi laki-laki.

B. TUJUAN
Tujuan Umum
Untuk mempelajari penyakit hihprung dan mengenal karakteristik dari penyakit tersebut dari mulai pengertian, etiolgi, penyebab, patofis dan diagnosis.
Tujuan Khusus
1. Mampu menjelaskan definisi dari penyakit hisprung
2. Mampu menyebutkan etiologi dari penyakit hisprung
3. Mampu menjelaskan penyebab dari penyakit hisprung
4. Mampu menyebutkan diagnosis dari penyakit hisprung

BAB II
TINJAUAN TEORI


A. Pengertian
Ada beberapa pengertian mengenai Mega Colon, namun pada intinya sama yaitu penyakit yang disebabkan oleh obstruksi mekanis yang disebabkan oleh tidak adekuatnya motilitas pada usus sehingga tidak ada evakuasi usus spontan dan tidak mampunya spinkter rektum berelaksasi.
Hirschsprung atau Mega Colon adalah penyakit yang tidak adanya sel – sel ganglion dalam rectum atau bagian rektosigmoid Colon. Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya peristaltik serta tidak adanya evakuasi usus spontan
( Betz, Cecily & Sowden : 2000 ).
Penyakit Hirschsprung atau Mega Kolon adalah kelainan bawaan penyebab gangguan pasase usus tersering pada neonatus, dan kebanyakan terjadi pada bayi dengan berat lahir 3 Kg, lebih banyak laki – laki dari pada perempuan ( Arief Mansjoeer, 2000 ). Hirschsprung terjadi karena adanya permasalahan pada persarafan usus besar paling bawah, mulai anus hingga usus di atasnya. Syaraf yang berguna untuk membuat usus bergerak melebar menyempit biasanya tidak ada sama sekali atau kalopun ada sedikit sekali. Namun yang jelas kelainan ini akan membuat BAB bayi tidak normal, bahkan cenderung sembelit terus menerus. Hal ini dikarenakan tidak adanya syaraf yang dapat mendorong kotoran keluar dari anus dalam keadaan normal, bahan makanan yang dicerna bisa berjalan di sepanjang usus karena adanya kontraksi ritmis dari otot-otot yang melapisi usus (kontraksi ritmis ini disebut gerakan peristaltik). Kontraksi otot-otot tersebut dirangsang oleh sekumpulan saraf yang disebut ganglion, yang terletak dibawah lapisan otot. Pada penyakit Hirschsprung, ganglion ini tidak ada, biasanya hanya sepanjang beberapa sentimeter. Segmen usus yang tidak memiliki gerakan peristaltik tidak dapat mendorong bahan-bahan yang dicerna dan terjadi penyumbatan. Penyakit Hirschsprung 5 kali lebih sering ditemukan pada bayi laki-laki.

B. Etiologi
Adapun yang menjadi penyebab Hirschsprung atau Mega Colon itu sendiri adalah diduga terjadi karena faktor genetik dan lingkungan sering terjadi pada anak dengan Down Syndrom, kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi, kranio kaudal pada myentri dan sub mukosa dindnig plexus.
• Segera setelah lahir, bayi tidak dapat mengeluarkan mekonium (tinja pertama pada bayi baru lahir).
• Tidak dapat buang air besar dalam waktu 24-48 jam setelah lahir, perut menggembung muntah.
• Diare encer (pada bayi baru lahir)
• Berat badan tidak bertambah
• Malabsorbsi
• Keturunan, karena penyakit ini merupakan penyakit bawaan sejak lahir.
• Faktor lingkungan
• Tidak adanya sel – sel ganglion dalam rektum atau bagian rectosigmoid kolon
• Ketidakmampuan spinkter rektum berelaksasi

C. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik penyakit ini adalah gangguan pasage usus fungsional., dalam kepustakaan disebutkan bahwa insiden penyakit ini berkisar 1 diantara 2000 sampai 12.000 kelahiran, dengan insiden tersering 1 diantara 5000 kelahiran. Data tentang penyakit Hirschsprung di Indonesia belum ada. Angka insidensi 1 diantara 5000 kelahiran maka dengan penduduk 220 juta dan tingkat kelahiran 35 per mil, diperkirakan akan lahir 1400 bayi setiap tahun dengan penyakit Hirschsprung di Indonesia. Di Amerika frekuensi 1 dari 5000 kelahiran (Kartono, 1993 ; Yoshida, 2004). Insiden penyakit ini adalah 1 : 5000 kelahiran hidup. Frekuensi pada anak laki-laki dengan perempuan 4 : 1.
Bayi baru lahir tidak bisa mengeluarkan meconium dalam 24-48 jam pertama setelah lahir. Tampak malas mengkonsumsi cairan, muntah bercampur dengan cairan empedu dan distensi abdomen. (Nelson, 2000 : 317).
Gejala penyakit Hirshprung atau Megacolon adalah obstruksi usus letak rendah, bayi dengan penyakit ini menunujukkan gejala klinis sebagai berikut :
• Obstruksi total saat lahir dengan muntah, distensi abdomen dan ketidakadaan evakuasi mekonium.
• Keterlambatan obstruksi mekonium diikuti obstruksi konstipasi, muntah, dehidrasi.
• Gejala ringan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang diukuti dengan obstruksi usus yang akut.
• Konstipasi ringan entrokolitis dengan diare, distensi abdomen dan demam.
• Adanya feses yang menyemprot pas pada colok dubur dengan merupakan tanda yang khas.
• Bila telah timbul enterokolitis nikrotiskans terjadi distensi abdomen hebat dan diare berbau busuk yang berdarah.
(Nelson, 2000 :317)
Gejala yang lain adalah :
Pada anak – anak
a. Konstipasi
b. Tinja seperti pita dan berbau busuk
c. Distensi abdomen
d. Adanya masa difekal dapat dipalpasi
e. Biasanya tampak kurang nutri dan anemi.
(Betz Cecily & Sowden, 2002:197).

D. Komplikasi
a. Obstruksi usus
b. Konstipasi
c. Ketidak seimbangan cairan dan elektrolit
d. Enterokolitis
e. Struktur anal dan inkontinensial ( pos operasi )
( Betz cecily & sowden, 2002 : 197 )

E. Patofisiologi
Istilah congenital aganglionic Mega Colon menggambarkan adanya kerusakan primer dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding submukosa kolon distal. Segmen aganglionic hampir selalu ada dalam rektum dan bagian proksimalpada usus besar. Ketidak adaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya gerakan tenaga pendorong (peristaltik) dan tidak adanya evakuasi usus spontan serta spinkter rektum tidak dapat berelaksasi sehingga mencegah keluarnya feses secara normal yang menyebabkan adanya akumulasi pada usus dan distensi pada saluran cerna. Bagian proksimal sampai pada bagian yang rusak pada Mega Colon.
(Betz, Cecily & Sowden, 2002 :197).
Semua ganglion pada intramural plexus dalam usus berguna untuk kontrol kontraksi dan relaksasi peristaltik secara normal. Isi usus mendorong ke segmen aganglionik dan feses terkumpul di daerah tersebut, menyebabkan terdilatasinya bagian usus yang proksimal terhadap daerah itu karena terjadi obstruksi dan menyebabkan di bagian Colon tersebut melebar.
(Price, S & Wilson, 1995 :141).
Penyakit Hirshprung, atau Mega Colon kongenital adalah tidak adanya sel – sel ganglion dalam rektum atau bagian rektosigmoid kolon. Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya peristaltis serta tidak adanya evakuasi usus spontan. Selain itu, sfingter rektum tidak dapat berelaksasi, mencegah keluarnya feses secara normal. Isis usu terdorong ke segmen aganglionik dan feses terkumpul di daerah tersebut, menyebabkan dilatasinya bagian usus yang psoksimal terhadap daerah itu. Penyakit Hirshprung atau Megacolon diduga terjadi karena faktor-faktor genetik dan faktor lingkungan, namun etiologi sebenarnya tidak diketahui. Penyakit ini dapat muncul pada sembarang usia, walaupun sering terjadi pada neonatus.

F. Karakteristik
Karekteristik megakolon didapat pada anak-anak adalah akibat dari kombinasi latihan BAB (Buang Air Besar) yang salah dan gangguan mental dan emosional yang dikarenakan oleh anak tersebut tidak mau mencoba untuk BAB. Administrasi dosis laksatif yang gagal untuk menyelesaikan masalah secara permanen dan dalam masa yang panjang rectum anak akan dipenuhi feses yang padat dan kolon menjadi besar secara progresif. Setelah bagian kolon yang menggelembung dikosongkan, rawatan primer untuk kelainan ini adalah psychiatric dan termasuk membujuk anak tersebut menerima latihan tersebut.
Megakolon pada dewasa bisa disebabkan oleh karena mengambil obat-obat tertentu, fungsi tiroid yang abnormal, DM (Diabetes millitus, scleroderma atau amyloidosis. Berbagai prosedur pembedahan untuk membaikkan kondisi ini.

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada penyakit Hirschsprung. Pada foto polos abdomen dapat dijumpai gambaran obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi sulit untuk membedakan usus halus dan usus besar. Pemeriksaan yang merupakan standard dalam menegakkan diagnosa Hirschsprung adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda khas :
1. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya bervariasi;
2. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah daerah dilatasi;
3. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi (Kartono,1993).

Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feces. Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang membaur dengan feces kearah proksimal kolon. Sedangkan pada penderita yang bukan Hirschsprung












Gambar Pemeriksaan Radiologi dengan Barium enema


2. Pemeriksaan patologi anatomi
Diagnosa histopatologi penyakit Hirschsprung didasarkan atas absennya sel ganglion pada pleksus mienterik (Auerbach) dan pleksus sub-mukosa (Meissner). Disamping itu akan terlihat dalam jumlah banyak penebalan serabut syaraf (parasimpatis). Akurasi pemeriksaan akan semakin tinggi jika menggunakan pengecatan immunohistokimia asetilkolinesterase, suatu enzim yang banyak ditemukan pada serabut syaraf parasimpatis, dibandingkan dengan pengecatan konvensional dengan haematoxylin eosin. Disamping memakai asetilkolinesterase, juga digunakan pewarnaan protein S-100, metode peroksidase-antiperoksidase dan pewarnaan enolase. Hanya saja pengecatan immunohistokimia memerlukan ahli patologi anatomi yang berpengalaman, sebab beberapa keadaan dapat memberikan interpretasi yang berbeda seperti dengan adanya perdarahan (Cilley dkk,2001).
Swenson pada tahun 1955 mempelopori pemeriksaan histopatologi dengan eksisi seluruh tebal dinding otot rektum, untuk mendapatkan gambaran pleksus mienterik. Secara tekhnis, metode ini sulit dilakukan sebab memerlukan anastesi umum, dapat menyebabkan inflamasi dan pembentukan jaringan ikat yang mempersulit tindakan bedah definitif. Noblett tahun 1969 mempelopori tekhnik biopsi hisap dengan menggunakan alat khusus, untuk mendapatkan jaringan mukosa dan sub-mukosa sehingga dapat melihat keberadaan pleksus Meissner. Metode ini kini telah menggantikan metode biopsi eksisi sebab tidak memerlukan anastesi dan akurasi pemeriksaan mencapai 100% (Junis dkk, Andrassy dkk). Biasanya biopsi hisap dilakukan pada 3 tempat : 2,3,dan 5 cm proksimal dari anal verge. Apabila hasil biopsi hisap meragukan, barulah dilakukan biopsi eksisi otot rektum untuk menilai pleksus Auerbach. Dalam laporannya, Polley (1986) melakukan 309 kasus biopsi hisap rektum tanpa ada hasil negatif palsu dan komplikasi (Kartono,1993; Swenson dkk,1990; Swenson,2002).
















Gambar Alat biopsi hisap Noblett

3. Pemeriksaan Manometri anorektal
Pemeriksaan manometri anorektal adalah suatu pemeriksaan objektif mempelajari fungsi fisiologi defekasi pada penyakit yang melibatkan spinkter anorektal. Dalam prakteknya, manometri anorektal dilaksanakan apabila hasil pemeriksaan klinis, radiologis dan histologis meragukan. Pada dasarnya, alat ini memiliki 2 komponen dasar : transduser yang sensitif terhadap tekanan seperti balon mikro dan kateter mikro, serta sisitem pencatat seperti poligraph atau komputer (Shafik,2000; Wexner,2000; Neto dkk,2000).
Beberapa hasil manometri anorektal yang spesifik bagi penyakit Hirschsprung adalah :
1. Hiperaktivitas pada segmen yang dilatasi
2. Tidak dijumpai kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada segmen usus aganglionik;
3. Sampling reflex tidak berkembang. Tidak dijumpai relaksasi spinkter interna setelah distensi rektum akibat desakan feces. Tidak dijumpai relaksasi spontan (Kartono,1993; Tamate,1994;















Tampak gambar skema dari manometri anorekatal,yang memakai balon berisi udara sebagai transducernya. Padapenderita Hirschsprung (kanan), tidak terlihat relaksasi spinkter ani.


4. Pemeriksaan colok anus
Pada pemeriksaan ini jari akan merasakan jepitan dan pada waktu tinja yang menyemprot. Pemeriksaan ini untuk mengetahu bahu dari tinja, kotoran yang menumpuk dan menyumbat pada usus di bagian bawah dan akan terjadi pembusukan.



BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN


A. Pengkajian keperawatan
Pada pengkajian anak dengan penyakit hisprung dapat ditemukan tanda dan gejala sebagai berikut. Adanya kegagalan mengeluarkan mekonium dalam waktu 24-28 jam setelah lahir, muntah berwarna hijau, dan konstipasi. Pada pengkajian terhadap faktor penyebab penyakit hisprung diduga dapat terjadi karena faktor genetis dan faktor lingkungan. Penyakit ini dapat muncul pada semua usia akan tetapi paling sering ditemukan pada neonatus. Pada perkusi adanya kembung, apabila dilakukan colok anus, feses akan menyemprot.
Pada pemeriksaan radiologis didapatkan adanya segmen aganglionosis diantaranya: apabila segmen aganglionosis mulai dari anus sampai sigmoid, maka termasuk tipe hisprung segmen pendek dan apabila segmen aganglionosis melebihi sigmoid sampai seluruh kolon maka termasuk tipe hisprung segmen panjang. Pemeriksaan biopsi rektal digunakan untuk mendeteksi ada tidaknya sel ganglion. Pemeriksaan manometri anorektal digunakan untuk mencatat respons refluks sfingter internal dan eksternal.

1. Pengkajian
• Identitas klien
• Identitas penanggung jawab
• Riwayat kesehatan
• Keluahan utama
• Klien tidak ada mekonium setelah 2x24 jam
• Riwayat penyakit sekarang
• Riwayat penyakit keluarga
• Riwayat persalinan




2. Pemeriksaan fisik






Gambar6. Foto pasien penderita Hirschsprung berusia 3 hari. Terlihat abdomen sangat distensi dan pasien kelihatan menderita sekali.
• Massa tinja yang besar dapat teraba pada bagian kiri bawah abdomen
• Jika tinja dikeluarkan terdiri dari butir-butir kecil / mempunyai konsistensi cair
• Bila waktu perut kembung dilakukan colok anus maka akan menyemprot dalam jumlah banyak dan perut akan kempes
3. Pemeriksaan Radiologis (gambar)
Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada penyakit Hirscprung. Pada foto polos abdomen dapat dijumpai gambaran obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi sulit untuk membedakan usus halus dan usus besar. Pemeriksaan yang merupakan standar dalam menegakkan diagnosa Hirschprung adalah barium enema, di mana akan dijumpai tiga tanda khas :
1. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya bervariasi
2. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah daerah dilatasi
3. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi ( Kartono, 1993 )
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit Hirschprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feces. Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang membaur dengan feces ke arah proksimal kolon. Sedangkan pada penderita yang bukan Hirschprung namun disertai dengan obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di daerah rektum dan sigmoid (Kartono,1993, Fonkalsrud dkk,1997; Swenson dkk,1990).










Gambar radiologis,
Terlihat gambar barium enema penderita Hirschsprung. Tampak rektum yang mengalami penyempitan,dilatasi sigmoid dan daerah transisi yang melebar


4. Pathway




















Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
a. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan intake yang kurang.
(Betz, Cecily & Sowden 2002:197)
b. Perubahan nutrisi kurang dan kebutuhan tubuh berhubungan dengan saluran pencernaan mual dan muntah.
c. Konstipasi berhubungan dengan obstruksi ketidakmampuan kolon mengevakuasi feces.
( Wong, Donna, 2004 : 508 )
d. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit dan pengobatanya.
( Whaley & Wong, 2004 ).


BAB IV
PEMBAHASAN

Perhatikan perawatan tergantung pada umur anak dan tipe pelaksanaanya bila ketidakmampuan terdiagnosa selama periode neonatal, perhatikan utama antara lain :
a. Membantu orang tua untuk mengetahui adanya kelainan kongenital pada anak secara dini
b. Membantu perkembangan ikatan antara orang tua dan anak
c. Mempersiapkan orang tua akan adanya intervensi medis ( pembedahan )
d. Mendampingi orang tua pada perawatan colostomy setelah rencana pulang
( FKUI, 2000 : 1135 )

Pada perawatan preoperasi harus diperhatikan juga kondisi klinis anak – anak dengan mal nutrisi tidak dapat bertahan dalam pembedahan sampai status fisiknya meningkat. Hal ini sering kali melibatkan pengobatan simptomatik seperti enema. Diperlukan juga adanya diet rendah serat, tinggi kalori dan tinggi protein serta situasi dapat digunakan nutrisi parenteral total ( NPT ).
 Konsep Tumbuh Kembang Anak
Konsep tumbuh kembang anak difokuskan pada usia todler yakni 1 – 3 tahun bisa juga dimasukkan dalam tahapan pre operasional yakni umur 2 – 7 tahun. Menurut Yupi. S ( 2004 ) berdasarkan teori peaget bahwa masa ini merupakan gambaran kongnitif internal anak tentang dunia luar dengan berbagai kompleksitasnya yang tumbuh secara bertahap merupakan suatu masa dimana pikiran agak terbatas. Anak mampu menggunakan simbul melalui kata – kata, mengingat sekarang dan akan datang. Anak mampu membedakan dirinya sendiri dengan objek dalam dunia sekelilingnya baik bahasa maupun pikiranya bercirikan egesenterisme, ia tidak mahu menguasai ide persamaan terutama berkaitan dengan masalah–masalah secara logis, tetapi dalam situasi bermain bebas ia cenderung untuk memperlihatkan perilaku logis dan berakal sehat pada tahap ini akan mulai mengenal tubuhnya
Pertumbuhan berkaitan dengan masalah perubahan dalam besar, jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu yang dapat diukur dengan ukuran berat ( gram, pounnd, kilogram ). Ukuran panjang ( cm, meter ). Umur tulang dan keseimbangan metabolik ( retensi kalium dan nitrogen tubuh ). Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dalam struktur dan fungsi yang lebih komplek dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan sebagai hasil dari proses pematangan ( Soetjiningsih, 1998: 1 ).
Pada pertumbuhan fisik dapat dinilai pertambahan berat badan sebanyak 2,2 Kg/ tahun dan tinggi badan akan bertambah kira – kira 7,5 cm/ tahun. Proporsi tumbuh berubah yaitu lengan dan kaki tumbuh lebih cepat dari pada kepala dan badan lorosis lumbal pada medulla spinalis kurang terlihat dan tungkai mempunyai tampilan yang bengkok. Lingkar kepala meningkat 2,5 cm/ tahun dan fontanella anterior menutup pada usia 15 bulan. Gigi molar pertama dan molar kedua serta gigi taring mulai muncul ( Betz & Sowden, 2002: 546 ).
 Strategi Pengurangan Dampak Hospitalisasi Pada Usia Todler
Pada usia todler anak cenderung egosentris maka dalam menjelaskan prosedur dalam hubungan dengan cara apa yang akan anak lihat, dengar, bau, raba dan rasakan. Katakan pada anak tidak apa- apa menangis atau gunakan ekspresi verbal untuk mengatakan tidak nyaman.
Pada usia ini juga mengalami keterbatasan kemampuan berkomunikasi lebih sering menggunakan perilaku atau sikap. Sedikit pendekatan yang sederhana menggunkan contoh peralatan yang kecil ( ijinkan anak untuk memegang peralatan ) menggunakan permainan.
Pada usia ini menjadikan hubungan yang sulit antara anak dengan perawat diperlukan orang tua pada keadaan ini, apapun cara yang dilakukan anaka harus merupakan pertimbangan pertama. Ibu harus didorong untuk tinggal atau paling sedikit mengunjungi anaknya sesering mungkin ( Yupi, S 2004).
 Penatalaksanaan
• Pre Operatif
a. Diet
Pada periode preoperatif, neonatus dengan HD terutama menderita gizi buruk disebabkan buruknya pemberian makanan dan keadaan kesehatan yang disebabkan oleh obstuksi gastrointestinal. Sebagian besar memerlukan resusitasi cairan dan nutrisi parenteral. Meskipun demikian bayi dengan HD yang didiagnosis melalui suction rectal biopsy dapat diberikan larutan rehidrasi oral sebanyak 15mL/ kg tiap 3 jam selama dilatasi rectal preoperative dan irigasi rectal.
b. Terapi farmakologik
Terapi farmakologik pada bayi dan anak-anak dengan HD dimaksudkan untuk mempersiapkan usus atau untuk terapi komplikasinya. Untuk mempersiapkan usus adalah dengan dekompresi rectum dan kolon melalui serangkaian pemeriksaan dan pemasangan irigasi tuba rectal dalam 24 - 48 jam sebelum pembedahan. Antibiotik oral dan intravena diberikan dalam beberapa jam sebelum pembedahan.

• Operatif
1. Tindakan Bedah Sementara
Tindakan bedah sementara pada penderita penyakit Hirschsprung adalah berupa kolostomi pada usus yang memiliki ganglion normal paling distal. Tindakan ini dimaksudkan guna menghilangkan obstruksi usus dan mencegah enterokolitis sebagai salah satu komplikasi yang berbahaya. Manfaat lain dari kolostomi adalah: menurunkan angka kematian pada saat dilakukan tindakan bedah definitif dan mengecilkan kaliber usus pada penderita Hirschsprung yang telah besar sehingga memungkinkan dilakukan anastomose.
2. Tindakan Bedah Definitif
a. Prosedur Swenson Orvar Swenson dan Bill (1948)
Prosedur Swenson Orvar Swenson dan Bill (1948) adalah yang mula-mula memperkenalkan operasi tarik terobos (pull-through) sebagai tindakan bedah definitif pada penyakit Hirschsprung. Pada dasarnya, operasi yang dilakukan adalah rektosigmoidektomi dengan preservasi spinkter ani. Dengan meninggalkan 2-3cm rektum distal dari linea dentata, sebenarnya adalah meninggalkan daerah aganglionik, sehingga dalam pengamatan pascaoperasi masih sering dijumpai spasme rektum yang ditinggalkan. Oleh sebab itu Swenson memperbaiki metode operasinya (tahun 1964) dengan melakukan spinkter ektomiposterior, yaitu dengan hanya menyisakan 2cm rektum bagian anterior dan 0,5-1cm rektum posterior. Prosedur Swenson dimulai dengan approach keintra abdomen, melakukan biopsi eksisi otot rektum, diseksi rektum kebawah hingga dasar pelvik dengan cara diseksi serapat mungkin ke dinding rektum, kemudian bagian distal rektum diprolapskan melewati saluran anal ke dunia luar sehingga saluran anal menjadi terbalik, selanjutnya menarik terobos bagian kolon proksimal (yang tentunya telah direseksi bagian kolon yang aganglionik) keluar melalui saluran anal. Dilakukan pemotongan rektum distal pada 2cm dari anal verge untuk bagian anterior dan 0,5-1cm pada bagian posterior, selanjunya dilakukanan astomose end to end dengan kolon proksimal yang telah ditarik terobos tadi. Anastomose dilakukan dengan 2 lapis jahitan, mukosa dan sero-muskuler. Setelah anastomose selesai, usus dikembalikan ke kavum pelvik/abdomen. Selanjutnya dilakukan reperitonealisasi, dan kavum abdomen ditutup.
b. Prosedur Duhamel
Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956 untuk mengatasi kesulitan diseksi pelvik pada prosedur Swenson. Prinsip dasar prosedur ini adalah menarik kolon proksimal yang ganglionik ke arah anal melalui bagian posterior rektum yang aganglionik, menyatukan dinding posterior rektum yang aganglionik dengan dinding anterior kolon proksimal yang ganglionik sehingga membentuk rongga baru dengan anastomose end to side (Fonkalsruddkk,1997). Prosedur Duhamel asli memiliki beberapa kelemahan, diantaranya sering terjadi stenosis, inkontinensia dan pembentukan fekaloma di dalam puntung rektum yang ditinggalkan apabila terlalu panjang. Oleh sebab itu dilakukan beberapa modifikasi prosedur Duhamel, diantaranya :
1. Modifikasi Grob(1959) : Anastomose dengan pemasangan 2 buah klem melalui sayatan endoanal setinggi 1,5 - 2,5 cm, untuk mencegah inkontinensia
2. Modifikasi Talbert dan Ravitch : Modifikasi berupa pemakaian stapler untuk melakukan anastomose side to side yang panjang
3. Modifikasi Ikeda : Ikeda membuat klem khusus untuk melakukan anastomose, yang terjadi setelah 6-8 hari kemudian
4. Modifikasi Adang : Pada modifikasi ini, kolon yang ditarik trans anal dibiarkan prolaps sementara. Anastomose dikerjakan secara tidak langsung, yakni pada hari ke-7-14 pasca bedah dengan memotong kolon yang prolaps dan pemasangan 2 buah klem ; kedua klem dilepas 5 hari berikutnya. Pemasangan klem disini lebih dititik beratkan pada fungsi hemostasi.
c. Prosedur Soave
Prosedur ini sebenarnya pertama sekali diperkenalkan Rehbein tahun 1959 untuk tindakan bedah pada malformasi anorektal letak tinggi. Namun oleh Soave tahun 1966 diperkenalkan untuk tindakan bedah definitif Hirschsprung. Tujuan utama dari prosedur Soave ini adalah membuang mukosa rektum yang aganglionik, kemudian menarik terobos kolon proksimal yang ganglionik masuk ke dalam lumen rektum yang telah dikupas tersebut.
d. Prosedur Rehbein
Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection, dimana dilakukan anastomose end to end antara usus aganglionik dengan rektum pada level otot levator ani (2-3cm diatas anal verge), menggunakan jahitan 1 lapis yang dikerjakan intraabdominal ekstraperitoneal. Pasca operasi, sangat penting melakukan businasi secara rutin guna mencegah stenosis.


Diagnosa Keperawatan yang ditemukan setelah pembedahan colostomy :
1. Nyeri b.d gangguan mekanis kulit akibat tindakan operasi.
2. Potensial terjadinya gangguan eliminasi tinja (konstipasi atau diare) b.d kemungkinan diet yang tidak balance.
3. Resiko infeksi b.d adanya kontaminasi luka dengan feses.
4. Kerusakan integritas kulit b.d terkontaminasinya kulit dengan feses.
5. Gangguan konsep diri b.d belum dapat beradaptasi dengan stoma dan perubahan anatomis.

Asuhan Keperawatan pada pasien dengan colostomy
No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan KH Intervensi Rasionalisasi TTD
1. Nyeri b.d gangguan mekanis kulit akibat tindakan operasi.
-Rasa nyeri yang dirasakan pasien berkurang bahkan bisa sampai hilang. 1. Kaji KU




2. Ukur TTV secara berkala
1. Untuk mngetahui keadaan umum supaya dapat dilakukan tindakan yang tepat.

2. Mengetahui adanya tanda - tanda komplikasi dengan adanya perubahan TTV sehingga dapat dilakukan tindakan yang tepat. Perawat Adit
2. Potensial terjadinya gangguan eliminasi tinja (konstipasi atau diare) b.d kemungkinan diet yang tidak balans.
- Tidak ada gangguan eliminasi tinja 1. Kaji frekue-nsi eliminasi tinja 1. Untuk mengetahui apakah pasien mengalami gangguan eliminasi tinja atau tidak Perawat Adit
3. Resiko infeksi b.d adanya kontaminasi luka dengan feses.
- Pasien terhindar dari infeksi 1. Kaji tanda2 infeksi 1. Untuk mengetahui apakah terjadi infeksi pada luka diperut pasien Perawat Adit
4. Kerusakan integritas kulit b.d terkontaminasinya kulit dengan feses.
- Tidak terjadi gangguan integritas kulit pada pasien 1. Amati kulit disekitar stoma 1.Untuk mengetahui adanya kerusakan integritas kulit di sekitar stoma Perawat Adit
5.







Gangguan konsep diri b.d belum dapat beradaptasi dengan stoma dan perubahan anatomis.

- Klien tidak mengalami gangguan konsep diri dan selalu berpikir positif terhadap dirinya 1. Berikan bimbing-an kepada klien tentang peneri-maan terhadap dirinya 1. Agar klien mampu menerima dirinya apa adanya setelah dilakukan tindakan colostomy Perawat Adit


BAB V
PENUTUP


a. Kesimpulan
Penyakit Hirschprung atau Mega Colon adalah penyakit terdapat rectum atau rektosigmoid Colon yang menimbulkan keabnormalan dan tidak adanya peristaltik di usus besar. Mega Colon pada anak-anak biasanya terjadi karena kelainan bawaan penyebab gangguan pasase usus dan paling sering terjadi pada neonatus yang kebanyakan terjadi pada bayi dengan berat lahir 3 Kg.
Penyebab Hirschsprung atau Mega Colon itu sendiri adalah faktor genetik dan lingkungan yang sering terjadi pada anak dengan Down syndrom,dimana kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi. Gejala Penyakit Hirschsprung adalah obstruksi usus letak rendah, Obstruksi total saat lahir dengan muntaah, distensi abdomen dan ketidakadaan evakuasi mekonium. Gejala ringan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau apabila terjadi berbulan-bulan dapat diikuti dengan obstruksi usus akut. Konstipasi ringan entrokolitis dengan diare, distensi abdomen dan demam. Feses yang menyemprot ketika dilakukan colok dubur merupakan tanda yang khas.
Adapun penatalaksanaan pada klien dengan Hirscprung atau Megacolon adalah sebagai berikut :
- Yang pertama adalah preoperatif, tindakannya adalah dengan diet dan terapi farmakologik.
- Yang kedua adalah tindakan operatif, tindakannya adalah tindakan bedah sementara dan tindakan bedah definitif yang dikemukakan oleh beberapa ahli, diantaranya Prosedur Swenson Orvar Swenson dan Bill (1948), Prosedur Duhamel, Prosedur Soave, Prosedur Rehbein

b. Saran




DAFTAR PUSTAKA
A. Price, S. (1995). Patofisiologi. Jakarta: EGC
Arief Mansjoer( 2000 ), Kapita Selekta Kedokteran, edisi 3, Jakarta : Media Aesculapius FKUI
Betz, Cecily & Sowden. ( 2002 ). Buku Saku Keperawatan Pediatrik, Alih bahasa Jan Tambayong. Jakarta : EGC
Carpenito. LJ ( 2001 ). Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 8. Alih bahasa Monica Ester. Jakarta : EGC
Darmawan K ( 2004 ). Penyakit Hirschsprung. Jakarta : sagung Seto.
Hambleton, G ( 1995 ). Manual Ilmu Kesehatan Anak di RS. Alih bahasa Hartono dkk. Jakarta : Bina Rupa Aksara
Nelson, W. ( 2000 ). Ilmu Kesehatan Anak. Alih Bahasa A Samik Wahab. Jakarta : EGC
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI ( 2000 ). Ilmu Kesehatan Anak I. Jakarta : Infomedika Jakaarta.
Suherman. ( 2000 ). Buku Saku Perkembanagn Anak. Jakarta : EGC
Suryadi dan Yuliani, R ( 2001 ) Asuhan Keperwatan Pada Anak. Jakarta : CV. Sagung Seto
Wong, Donna ( 2004 ). Keperawatan Pediatrik. Alih Bahasa Monica Ester. Jakarta : EGC
Yupi, S. (2004). Konsep dasar keperawatan anak. Jakarta: EGC
Lyke, Merchant Evelyn, 1992, Assesing for Nursing Diagnosis ; A Human Needs Approach,J.B. Lippincott Company, London.
Mansjoer, Arif dkk. 2000, Kapita Selekta Kedokteran, ed.3, Media Aesculapius, Jakarta.
Ngastiyah, 1997, Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta

Perawat Sebagai Saksi Ahli

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena hanya berkat dan karunia-Nya lah penyusunan makalah ini dapat diselesaikan tepat waktu. Terimakasih pula penyusun ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung penyusun baik secara moral maupun material guna penyusunan makalah ini.
Makalah ini berisi pengetahuan tentang segala sesuatu yang berkaitan tentang perawat sebagai Saksi Ahli sehingga dapat dipahami dan bermanfaat bagi para pembaca. Adapun tujuan spesifik dari pembuatan makalah ini yaitu untuk menambah wawasan dan pengetahuan para mahasiswa keperawatan Universitas Respati Yogyakarta dan pembaca mengenai perawat sebagai saksi ahli
Penulis menyadari sepenuhnya, walaupun penulis berusaha secara maksimal mencurahkan segala pikiran dan kemampuan yang penulis miliki, makalah ini masih banyak kekurangan dan kelemahanya, baik dari segi bahasa, pengelolaan maupun dalam penyusunannya. Maka dari itu penulis sangat megharapkan kritik dan saran yang membangun sehingga masukan kritik dan saran tersebut dapat membantu penulis untuk terus menyempurnakan penyusunan makalah pada masa yang akan datang. Atas perhatiannya itu penulis mengucapkan terima kasih.


Yogyakarta, 7 Juni 2011


Penyusun





BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejalan dengan kemajuan teknologi, tindak kejahatanpun semakin kompleks dan ber-variasi baik dari segi kualitas maupun kuantitas, sehingga proses penyidikan dan pembuktian yang dilakukan oleh penegak hukum melibatkan berbagai disiplin ilmu. Berdasarkan pasal 179 KUH Pidana (Moeljatno, 1996), Sebagai orang yang memiliki keahlian dan pengetahuan di bidang keperawatan, perawat dapat dilibatkan sebagai saksi ahli untuk dimintai pendapat dan keterangannya sesuai dengan keahliannya dipengadilan. (Rahman Ardan, 2007)
Setiap orang yangdimintai pendapatnya sebagai ahli keperawatan berkewajiban memberikan keterangan ahli demi keadilan. Demikian juga pasal 53 ayat (2) Undang-undang No.23 Tahun 1992 tentang kesehatan ditegaskan bahwa tenaga kesehatan dapat dilibatkan dalam upaya pembuktiandengan melakukan tindakan medis tertentu, baik dalam perkara pidana maupun perkara lainnya melalui permintaan tertulis oleh pejabat yang berwenang yang menangani kasus tersebut. (Rahman Ardan, 2007)
Berdasarkan pasal 50 ayat (1) Undang-undang Kesehatan Nomor 23/1992 (Dep.Kes.RI, 1992), dalam kedudukannya sebagai tenaga kesehatan, perawat bertugas menjalankan kewajibannya sesuai dengan bidang keahlian dan kewenangannya. Sehubungan dengan tugas tersebut, sesuai pasal 22 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 32/1996 (Peraturan Pemerintah, 1996) tentang Tenaga Kesehatan, perawat berkewajiban di antaranya untuk menghormati hak pasien dan menjaga kerahasiaan identitas dan data kesehatan pribadi pasien,karena hubungan dokter – pasien didasarkan kepercayaan.Berdasarkan pasal 322 ayat (1) KUHA Pidana (Aksara Baru, 1998),apabila seorang dokter/dokter gigi dengan sengaja membuka rahasia jabatandapat diancam pidana penjara atau membayar denda. Karena profesinya untuk menyimpan rahasia jabatan, maka dokter gigi memiliki hak ingkar. (Rahman Ardan, 2007)
Terdapat 2 aliran pendapat tentang penggunaan hak ingkar dan kewajiban menyimpan rahasia, yaitu aliran mutlak yang menyebutkan bahwa rahasia jabatan sama sekali tidak boleh dibuka, serta aliran relatif yang menyebutkan rahasia jabatan dapat dibuka tergantung kasus yang dihadapi. Di Indonesia aliran relatif ini lebih banyak dianut. (Amelz, 1982).

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Pembaca diharapkan megetahui tentang gambaran umum mengenai peluang usaha yang ada dalam Perawat sebagai Saksi Ahli.
2. Tujuan Khusus
1. Mahasiswa dapat megetahui definisi perawat sebagai saksi ahli
2. Mahasiswa dapat mengetahui syarat perawat sebagai saksi ahli
3. Mahasiswa dapat mengetahui perbedaan perawat sebagai konsultan hukum dengan saksi ahli
4. Mahasiswa dapat mengetahui tata cara pemanggilan saksi ahli
5. Mahasiswa dapat mengetahui persiapan perawat sebagai saksi ahli
6. Mahasiswa dapat mengetahui kewajiban dan hak perawat sebagai saksi ahli
7. Mahasiswa dapat mengetahui perencanaan dalam pembuatan usaha perawat sebagai saksi ahli

















BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Definisi
Saksi ahli adalah seseorang yang dapat menyimpulkan berdasarkan pengalaman keahliannya tentang fakta atau data suatau kejadian, baik yang ditemukan sendiri maupun oleh orang lain, serta mampu menyampaikan pendapatnya tersebut (Franklin C.A, 1988), dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebagai saksi ahli harus dapat menarik kesimpulan, serta menyatakan pendapat sesuai dengan keahliannya. Berdasarkan pasal 184 KUHAP ayat (1), keterangan ahli yang diberikan oleh saksi ahli di pengadilan adalah merupakan salah satu alat bukti yang syah. (Rahman Ardan, 2007)

B. Syarat Perawat Sebagai Saksi Ahli
Pengacara melihat beberapa faktor ketika mereka mempertahankan perawat baik konsultan hukum atau saksi ahli, dengan syarat : (Paterson, 2007)
a. Seorang perawat harus memiliki minimal sarjana ilmu di keperawatan untuk menarik minat firma hukum atau lembaga kesehatan.
b. Perawat yang memiliki pengalaman klinis saat ini di bidang minat atau perhatian.
c. Sertifikasi Specialty adalah faktor lain yang akan dipertimbangkan ketika mempertahankan perawat konsultan hukum atau saksi ahli.
d. Reputasi perawat di daerahnya, keahlian merupakan faktor penting juga.
e. Seorang perawat yang memiliki masalah hukum sebelumnya tidak dapat dijadikan sebagai saksi ahli.
f. Seorang perawat harus dapat menerjemahkan isu-isu kompleks tentang kesehatan dengan istilah sederhana yang dimengerti oleh pengacara lain, juri, dan hakim.

C. Perbedaan Perawat sebagai Konsultan Hukum dengan Saksi ahli
Ada beberapa perbedaan penting antara perawat konsultan hukum dan saksi ahli :
1. Perawat konsultan hukum biasanya disewa untuk meninjau kasus-kasus dan menentukan apakah kasus ini berjasa. Dalam membuat penentuan ini, mereka biasanya mengatur catatan medis yang bersangkutan dan menyiapkan kronologis atau waktu yang terkait dengan kasus tertentu. Mereka mungkin juga bertanggung jawab untuk meneliti sastra dan standar pelayanan yang penting berkaitan dengan isu-isu dalam kasus tersebut. Beberapa konsultan hukum perawat membantu pengacara karena mereka merumuskan pertanyaan yang akan ditanyakan pada deposisi atau di pengadilan. Konsultan Hukum perawat juga dapat disewa oleh organisasi perawatan kesehatan untuk melayani sebagai manajer risiko atau ahli pengurangan risiko. Salah satu perbedaan yang sangat penting adalah bahwa perawat konsultan hukum tidak biasanya menawarkan kesaksian ahli di deposisi atau di pengadilan. Akibatnya, beberapa perawat praktek maju mungkin merasa sulit untuk disewa oleh sebuah firma hukum karena biro hukum mungkin tidak ingin menduplikasi meninjau grafik dan persiapan kasus ketika mereka akan harus memiliki saksi ahli juga meninjau kasus untuk bersaksi. Jika Anda dipertahankan sebagai perawat konsultan hukum Anda mungkin mengharapkan imbalan kurang daripada jika anda melayani sebagai saksi ahli karena tanggung jawab kurang terlibat.
2. Saksi ahli Perawat terlibat dalam kegiatan yang mirip dengan perawat konsultan hukum. Sebagai contoh, mereka mungkin akan diminta untuk mengatur catatan medis, menyiapkan garis waktu, penelitian literatur terkait, dan menyelidiki standar asuhan keperawatan. Namun, juga diharapkan bahwa mereka akan bersedia untuk bersaksi di deposisi dan sidang harus perlu timbul. Seperti perawat konsultan hukum, saksi ahli juga bisa disewa oleh organisasi perawatan kesehatan di posisi pengurangan risiko. Ahli saksi biasanya cukup dibayar sedikit lebih untuk layanan mereka.

D. Tata Cara Pemanggilan Saksi Ahli
Tata cara pemanggilan saksi ahli diatur dalam pasal 227 KUHAP, secara garis besarnya adalah :
1. Semua jenis pemberitahuan atau panggilan oleh pihak yang berwenang disampaikan selambat-lambatnya tiga hari sebelum tanggal hadir yang ditentukan.
2. Petugas yang melaksanakan panggilan harus bertemu sendiri dan berbicara langsung dengan orang yang dipanggil.
3. Bila orang yang dipanggil tidak terdapat disalah satu tempat tinggalnya atau tempat kediamannya yang terakhir, surat panggilan disampaikan melalui Kepala Desa atau pejabat, dan jika di luar negeri melalui perwakilan Republik Indonesia di tempat dimana orang yang dipanggil tinggal.

E. Persiapan Perawat Sebagai Saksi Ahli
Perawat konsultan hukum dan peran saksi ahli membutuhkan fleksibilitas. Dalam sejumlah kasus, saksi atau ahli konsultan perlu :
1. Menyiapkan bahan dan meninjau dokumen produktif dalam waktu yang relatif singkat.
2. Saksi ahli perawat juga harus siap untuk tampil di deposisi atau dalam sidang ketika diperintahkan.

F. Kewajiban dan Hak Perawat sebagai Saksi Ahli
Didasarkan KUHAP, saksi ahli memiliki kewajiban dan hak sebagai berikut:
1. Kewajiban sebagai saksi alih:
a. Didasarkan pasal 159 ayat (2) KUHA Pidana saksi ahli wajib menghadap ke persidangan setelah dipanggil dengan patut.
b. Didasarkan pasal 160 KUHA Pidana, saksi ahli wajib ber-sumpahmenurut agamanya untuk memberi keterangan yang sebenarnya.
2. Hak sebagai saksi ahli:
a. Didasarkan pasal 229 KUHAP, saksi ahli yang telah hadir berhak mendapatpenggantian biaya menurut Undang-undang yang berlaku.
Walaupun seorang perawat dapat menggunakan hak ingkar untuk tidak memberikan keterangan karena adanya kewajiban menyimpan rahasia jabatan,berdasarkan pasal 179 ayat (1) KUHA Pidana, setiap orang yang diminta - minta pendapatnya sebagai keperawatan atau tenaga kesehatan lainya, kita harus wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan. Sekalipun perawat memiliki hak ingkar untuk dapat menolak memberikan keterangan yang berhubungan dengan pasiennya, karena kewajiban menjaga rahasia jabatan, tetapi harus disadari tanggung jawabnya untuk mengutamakan kepentingan masyarakat dan negara. Perawat dapat membuka kerahasiaan pasien bila :
1. Ada perintah dari hakim, sesuai pasal 180 ayat (1) KUHA Pidana.
2. Ada permintaan tertulis dari penyidik, sesuai pasal 133 KUHA Pidana.
3. Untuk melaksanakan perintah atasan, sesuai pasal 51 KUHA Pidana, contoh Perawat Militer.
4. Untuk melaksanakan ketentuan Undang Undang, sesuai pasal 50 KUHA Pidana.
5. Kasus yang dihadapi menyangkut kepentingan umum yang membahayakan ketertiban umum, dimana pendapat dan keterangan yang diberikan perawat dapat memberi nilai bagi proses keadilan. Apabila perawat menolak memenuhi kewajiban untuk dipanggil sebagai saksi ahli dibidang Keperawatan, maka berdasarkan pasal 224 KUHA Pidana, diancam pidana penjara.

G. Perencanaan dalam Pembuatan Usaha Perawat sebagai Saksi Ahli
1. Proses Perencanaan Usaha
a. Mengidentifikasi Peluang Usaha
Pada saat ini banyak sekali kelalaian yang dilakukan oleh perawat dalam melakukan tindakan keperawatan dan perawat juga banyak berurusan dengan masalah hukum. Masalah seperti ini yang dapat mendasari untuk membuka peluang usaha entrepreneurship.
b. Menentukan Jenis Usaha yang akan dijalankan
Sebagai seorang perawat entrepreneurship dapat membantudalam menyelesaikan masalah masalah kelalaian perawat dalam melakukan tindakan keperawatan perawat dapat membuka peluang usaha sebagai saksi ahli.
c. Faktor Pendukung
1) Banyaknya kelalaian yang dilakukan seorang perawat dalam memberikan tindakan keperawatan kepada pasien
2) Adanya kelegalan dalam usaha perawat sebagai saksi ahli
d. Faktor Penghambat
1) Terbatasnya sumber modal yang ada
e. Faktor Lingkungan
1) Internal contohnya kurangnya pengetahuan, ketrampilan dan pengala man dalam berwirausaha.
2) External contohnya banyaknya pesaing dalam penyediaan jasa yang sama.
2. Implementasi
Tahap ini merupakan tahap yang paling inti dalam proses berbisnis dan tentu saja merupakan tahap yang paling sulit. Semua orang bisa punya ide, namun tidak semua orang berani take action.
a. Sasaran : Perawat yang berurusan dengan masalah hokum yang melakukan kelalaian ( malpraktek ) dalam tindakan keperawatan.
b. Biaya : Biaya diambil dari keputusan dua belah pihak antara partner dan kita sebagai perawat sebagai saksi ahli.
3. Evaluasi
Dari evaluasi ini, kita bisa mengetahui implementasi yang kita lakukan berhasil atau tidak. Sama dalam dunia bisnis, evaluasi akan memberikan gambaran kepada kita konsep yang sudah kita jalankan berhasil atau tidak. Jika berhasil, maka kita bisa lakukan peningkatan, namun jika tidak, perubahan rencana dan strategi bisa dilakukan.






















BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Perawat sebagai saksi ahli adalah seorang perawat yang dapat dimintai pendapat dan kesaksiannya dalam bidang keperawatan. Dalam bertindak sebagai saksi ahli perawat tersebut tidak memiliki masalah hukum, perawat juga harus mempersiapkan bahan dan dokumen yang dibutuhkan. Terdapat perbedaan antara perawat sebagai konsultan hukum dengan saksi ahli, dimana perawat sebagai konsultan hukum merupakan tugasnya membantu hakim untuk mengumpulkan pertanyaan yang nantinya akan ditanyakan di pengadilan sedangkan perawat sebagai saksi ahli merupakan tugasnya untuk mengatur catatan medis, menyiapkan, penelitian literatur terkait, dan menyelidiki standar asuhan keperawatan.

B. Saran
1. Seorang perawat sebagai saksi ahli harus memiliki keahlian dan pengalaman dalam bidang keperawatan seperti ( mengatur catatan medis, menyiapkan, penelitian literatur terkait, dan menyelidiki standar asuhan keperawatan)
2. Seorang perawat entrepreneur harus mempunyai pengetahuan, pengalaman, pelatihan dalam berwirausaha di bidang saksi ahli.













DAFTAR PUSTAKA

Paterson, M. A. (2007). medscape nurse. jurnal for nurse practitioners , 29-32.
Sumar, A. (2007). Dokter Gigi Sebagai Saksi Ahli Dalam PerkaraPidana. Bandung: Universitas Padjajaran.
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/06
Rahman Ardan, A. (2007). Dokter Gigi Sebagai Saksi Ahli Dalam PerkaraPidana. Bandung: Universitas Padjajaran.